Ikan sidat (hampir mirip belut) adalah salah satu komoditas perikanan Internasional yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Salah satu peminat terbesar ikan sidat adalah Jepang dengan konsumsi terbesar sekira 130.000 ton pertahun dan belum termasuk permintaan dari negara lain di dunia.
Melihat potensi yang begitu besar tim peneliti dari Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Agung Budiharjo yang selama beberapa tahun meneliti tentang budidaya ikan sidat menggandeng petani plasma untuk beternak dan membudidayakan ikan sidat secara modern sehingga bisa meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan.
Masyarakat biasa juga bisa membudidayakan ikan sidat ini. Pihak UNS menggandeng para petani plasma yang selama ini beternak secara sederhana.
Karena Sidat butuh teknologi khusus sebelum siap di lempar ke kolam, semua proses di lakukan pihak UNS. Setelah bibit sidat siap baru diberikan pada petani plasma untuk di pelihara di kolam. Petani kemudian merawat dan jika masa panen tiba dijual kembali ke UNS.
“Kita beli putus, bibit kita beri, pakan kita beri, jika panen dijual kembali pada kita,” ungkapnya di Solo Jawa Tengah, Rabu (25/6/2014).
Karena dari 19 jenis ikan sidat di dunia, sembilan jenis diantaranya hidup di Indonesia. Salah satunya adalah jenis Anguilla bocolor bicolor jenis termahal dan diminati pasar.
Agung Budiharjo tim peneliti UNS menyatakan dengan perkembangan budidaya secara modern dan cara pengolahan dan pengemasan dalam bentuk fillet, ikan sidat bisa memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
“Saat ini harga ikan sidat di pasaran dunia berkisar USD25 hingga USD40 per kilonya. Sedangkan harga di petani plasma binaan UNS sekitar Rp200.000 per kilo,” jelasnya
Agung menjelaskan ikan sidat yang siap dikonsumsi sekilonya berisi sekitar tiga atau empat ekor, harganya memang cukup mahal oleh sebab itu bukan untuk pangsa pasar lokal.
“Karena harganya cukup mahal, makanya semua produk kita full ekspor. Selain itu karena masa pemeliharaannya cukup lama sekira enam bulan, juga menjadi sebab mahalnya harga sidat,” terangnya lebih lanjut.
Agung mengungkapkan semua hasil panen ini dijual ke Shigerland co. Ltd Osaka Jepang. Tidak di jual utuh, karena bila di jual utuh untuk masuk ke pasar Jepang terlalu rumit persyaratannya.
“Jadi kita jual dalam bentuk fillet. Jika dalam bentuk fillet harganya tentu jadi lebih mahal. Jika rata-rata dari petani satu ekor Rp70.000 bila di fillet harga jadi lebih mahal,” terangnya lebih lanjut.
Agung menjelaskan jika hasil produksi sidat dari petani plasma sudah diolah dengan menggunakan mesin yang di datangkan langsung dari Jepang yang merupakan invest dari Shigerland co. Ltd.
“Semuanya sudah di fillet, dan sudah dalam bentuk vakum (packing) sekalian, dan selanjutnya di ekspor ke Jepang,” pungkasnya. (Sumber : Okezone)
0 komentar:
Posting Komentar